Nuramaya

Memulai dengan yang halal dan sehat

Kesetaraankah yang diinginkan?

on February 15, 2008

Bagi kaum perempuan tentu saja masih cukup teringat dengan sosok ibu kartini, yang katanya tokoh emansipasi kita. Beliau sosok pahlawan wanita yang mampu bersikap terhadap budaya Jawa yang cukup mengkungkung kaum perempuan. Indonesia pasca Kartini bisa jadi cukup tercerahkan, terutama kaum perempuan. Bisa sekolah, bisa bekerja dan mendapatkan perlakuan yang sama dengan laki-laki. Mungkin…

Untuk sekian lama para tokoh feminis menginginkan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Dan bahkan program pemerintah pun senantiasa mengembar-gemborkan kesetaraan gender, dengan program “Pengarus utamaan Gender”, bahwa perempuan harus mendapat posisi seperti laki-laki, tak ada pembedaan pekerjaan antara laki-laki dan perempuan. Ya…semua setara. Dengan alasan, bahwa itulah yang dibutuhkan perempuan. Apakah seperti itu..?

Kalau kita perhatikan, sebenarnya perempuan telah memasuki hampir seluruh lini kehidupan. Kalau kita ke pasar, siapa yang paling banyak membawa bakul, menjual atau melakukan aktivitas disana? Atau pedagang sayur keliling, berapa persen persentase penjualnya laki-laki? Atau mungkin, yang matun atau mencabuti rumput disawah, yang bisa disebut buruh sawah, kita lihat juga perempuan mendominasi disana. Atau mungkin yang cukup elite, pegawai bank, kebanyakan juga perempuan. Di pemerintahan, polisi, tentara, penjual koran, kondektur, sopir dan bahkan menjadi tukang becak. Perempuan juga melakukan itu. Untuk apakah mereka melakukan itu? Sekedar memenuhi kebutuhan hidup? Ataukah mempertahankan hidup dan kebutuhan hidup orang yang merasa ditanggungnya? Lalu sebenarnya kemanakah orang yang seharusnya menanggung hidup mereka?

Sebagian dari kita, entah laki-laki maupun perempuan terkadang menganggap setara adalah solusi terhadap posisi perempuan yang dianggap second line, agar terangkat posisinya. Padahal kita perlu mengingat bahwa sebuah ketimpangan atau kondisi yang tidak ideal lainnya, seringkali berawal dari penempatan yang tidak sesuai. Dalam Islam, sudah sangat jelas disampaikan bahwa dalam keluarga, laki-laki mempunyai tanggung jawab untuk mencari nafkah dan melindungi keluarganya. Sedangkan perempuan adalah istri yang harus dengan sigap menjadi manager dalam rumah tangga. Disini ada pembagian peran dan kerja sama. Saat suami mencari nafkah, jelas istri harus dapat menangani kebutuhan anak dan mengurus rumah tangganya. Walaupun demikian tanggung jawab mendidik anak adalah tanggung jawab bersama, karena anak tak hanya mengenal sosok ibu saja tetapi juga ayah, atau sebaliknya, ayah saja dan tidak kenal ibu. Keduanya adalah hak anak, memiliki kedua orang tua, ayah dan ibu. Tetapi jika kondisi ini tidak terwujud, misalnya sang suami tidak mencari nafkah sehingga beban terhadap istri semakin berat dan muncullah wanita-wanita perkasa yang saya sampaikan diawal. Maupun kondisi sebaliknya, sang istri juga enggan melakukan tanggung jawabnya sebagai manager rumah tangga. Merasa harus menjadi wanita karier agar mampu eksis seperti laki-laki, yang menjadikan rumah tangga terlantar. Tuntutan perempuan untuk setara dan benteng pertahanan laki-laki untuk lebih eksis inilah yang dihasilkan. Alhasil, bukannya permasalahan yang menemukan titik terang, tetapi justru sebaliknya, lahirnya kekerasan demi kekerasan. Kekerasan terhadap perempuan baik fisik maupun psikhis, dan juga kekerasan terhadap anak. Anak yang tak pernah meminta punya orang tua pencipta kekerasan.


Leave a comment