Begitu dalamnya ingatan ini akan mutiara itu menjadikanku amat sulit menggoreskan kata demi kata tentangnya. Walaupun mata ini sudah berbilang tahun tak menembus kebersahajaan yang tersimpan dalam pancaran kedua bola matanya. Pundak ini pun sudah beribu-ribu kali tarikan nafas tak direngkuh oleh pelukan hangatnya. Telinga ini pun sudah amat rindu mendengar tutur lembutnya. Dan kening ini pun sudah lama tak basah oleh ciumannya setelah ku cium punggung tangannya yang lembut dengan takzim.
Aku akan mengurai kenangan tentang mutiaraku ini satu demi satu, dengan harapan keteladanan sajalah yang tersisa. Perempuan ini seorang gadis desa yang terpelajar. Kala itu, dalam keluarganya, beliaulah satu-satunya anak perempuan yang mengenyam pendidikan dan menjadi guru. Bagiku, beliau benar-benar seorang pecinta ilmu. Saat aku dilahirkan dari rahimnya, memang beliau sudah tidak lagi mengajar di sekolah madrasah, setingkat Sekolah Dasar (SD). Tetapi, apakah berhenti semangatnya untuk membagi ilmunya? Ternyata tidak. Sebuah rumah di kompleks AURI Solo, menjadi saksinya. Beliau membuka kelas mengaji. Kelas mengaji itu dikhususkan untuk anak-anak sekitar rumah kami, termasuk anak-anak kampung di seberang kompleks. Tanpa diminta dan tanpa dibayar, semua atas inisiatif beliau. Saat itu, aku masih terbata-bata membaca huruf hijaiyah dengan metode iqra. Ikut berlomba-lomba bersama murid ibuku yang lain agar segera bisa membaca Al Qur’an dengan lancar.
Kecintaannya akan ilmu tak hanya berhenti dirumah dinas mungil yang telah kami tinggalkan karena ayahku pensiun. Kepindahan kami ke lokasi transmigrasi di Lampung, menjadikan Ibuku semakin bersemangat membagi ilmunya. Beliau begitu cepatnya menyesuaikan diri dengan negri yang menurut bahasaku sekarang, adalah negri yang jauh dari hiruk pikuk dunia. Jarak antar rumah jauh, semak-semak masih menjadi hiasan umum di pekarangan tiap rumah. Bahkan terkadang ada ayam hutan dan kucing hutan berseliweran di halaman. Listrik pun juga belum ada, hingga kami jika belum sempat mengerjakan tugas sekolah di siang hari, terpaksa memicingkan mata hingga larut malam dengan mengandalkan cahaya dari lampu teplok. Beliaupun dengan setia membersamai kami sambil menyelesaikan tilawahnya yang tertunda usai, karena banyaknya pekerjaan di siang hari.
Apa yang dilakukan ibuku di negri yang baru ini? Beliau memulai dengan menghidupkan masjid dan membuka pengajian bergilir dari rumah kerumah untuk ibu dan bapak sekitar kompleks. Dilanjutkan dengan membuka Taman Pendidikan Al Qur’an (TPA) untuk anak-anak sekitar masjid. Hal inilah yang menjadikanku, seorang gadis kecil kala itu, telah diangkat menjadi asistennya. Usiaku baru 7 tahun, tetapi ibuku telah menugaskanku mengajar teman-teman seusiaku yang lain. Tentu saja karena mereka belum bisa membaca huruf hijaiyah atau belum lancar membaca Al Qur’an. Ibuku memulai TPA itu hanya dengan bermodal 2 set iqra yang dibeli di Yogyakarta dan bangku panjang dari iuran para wali murid. Kemudian berkembang hingga memiliki bangunan sendiri dan tak hanya belajar baca tulis Al Qur’an tetapi juga ilmu agama yang lain layaknya pendidikan di sebuah madrasah. Alhamdulillah TPA itu masih ada dan masih berdiri kokoh bangunan untuk madrasah dan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
Selain itu, ibuku ternyata cukup luwes dalam bermasyarakat. Beliau senantiasa meluangkan waktu berkunjung ketetangga dan memperhatikan keluarga yang kesusahan. Hal inilah yang mungkin menjadikan ibuku, seorang ibu rumah tangga, tanpa jabatan apapun, tanpa gelar dan dengan kesederhanaanya menjadikan tempat rujukan masyarakat sekitar. Saat beliau tutup usia karena sakitnya, aku semakin menyadari begitu luar biasanya ibuku ini. Bak mutiara, beliau keluarkan seluruh keindahan akhlaknya kepada sesama. Membagi ilmunya dalam kondisi apapun. Walaupun mutiara ini telah benar-benar meninggalkanku, keteladanan yang tertinggal cukup melekat kuat dalam kenanganku.
*Episode mengenangmu Ibu, setelah 18 tahun Engkau meninggalkan dunia.